Assalamualaikum ahli Kualiah Tasawwur Islam. Malam ini saya membicarakan bahagian 1 : KONSEP TAAWUN DALAM TASAWWUR ISLAM.
Saudara/saudari sekelian, letakan diri berada di mana apabila kita
membaca ayat-ayat Allah dan hadis Rasulullah SAW. Adakah kita menuruti
perintah Allah dan rasul-nya atau melanggarnya. Bacalah dengan hati
nurani dan iman yang tipis agar diberi tambahan iman buat kita umat di
akhir zaman.
PERINTAH ALLAH KEPADA ORANG ISLAM AGAR SALING
TOLONG MENOLONG DALAM PERKARA KEBAIKAN DAN KETAKWAAN BUKAN TOLONG
MENOLONG DALAM BERBUAT DOSA DAN PELANGGARAN HUKUM ALLAH.
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Surah al-Maidah:2
اللَّهَ قُواوَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّ
نَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ إ
Maksudnya:”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
(al-birru ) dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa
(al-itsmu ) dan pelanggaran ( al-‘udwan)). Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
HURAIAN AYAT
Makna al-birru (الْبِرِّ ) dan at-taqwa (التَّقْوَى ).Dua kata ini,
memiliki hubungan yang sangat erat kerana masing-masing menjadi bahagian
antara satu sama lain.
Secara umumnya al-birru (الْبِرِّ ) bermakna
kebaikan (kebajikan). Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang
menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang dituntut oleh
syariat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa
al-birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan
yang dituntut oleh Allah dari seorang hamba-Nya. Lawannya ialah
al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala
bentuk keburukan dan keaiban yang menjadi sebab seorang hamba sangat
dicela oleh Tuhannya apabila melakukannya.
Mengikut pendapat
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa al-birru adalah sebuah
nama yang mencakup segala yang Allah Azza wa Jalla cintai dan redai,
berupa perbuatan-perbuatan yang zâhir maupun batin, yang berhubungan
dengan hak Allah Azza wa Jalla atau hak sesama manusia.
Kesimpulannya , termasuk dalam maksud al-birri itu juga adalah
keimanan, cabang-cabangnya, malah ketakwaan itu sendiri kerana Allah
Azza wa Jalla telah menghimpun al-birri (kebaikan, kebajikan) dengan
ketakwaan seperti dalam firman Allah dalam surah al-Baqarah:177
berikut:
Maksudnya” Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu
ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa”.
Kebaikan (kebajikan) yang
tertera dalam ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam;
prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat,
membayar zakat dan menginfakkan harta kepada orang yang memerlukan dan
amalan hati seperti bersabar dan menepati janji.
Ayat ini telah
memberitahu kepada kita tentang makna kebaikan, manakala di penghujung
ayat, Allah Azza wa Jalla menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan
(sifat-sifat orang muttaqîn).
Hakikat ketakwaan itu ialah melakukan
ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penuh keimanan dan mengharap
pahala; baik yang berupa perintah ataupun larangan. Kemudian perintah
itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan
janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap
larangan tersebut dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habîb
rahimahullah, seorang Ulama dari kalangan generasi Tâbi’în berkata:”
Apabila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa”. Mereka berkata:”
Apa yang dimaksud dengan takwa?”. Beliau menjawab:” Hendaknya engkau
melakukan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan berdasarkan hidayah
dari Allah Azza wa Jalla dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau
tinggalkan maksiat dengan juga didasari hidayah dari Allah Azza wa Jalla
lalu takut terhadap siksa-Nya di hari akhirat nanti”.
Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah memuji keterangan di atas dengan mengatakan : Ini
merupakan definisi takwa yang paling bagus. Beliau menjelaskan, bahwa
semua amalan memiliki permulaan dan tujuan akhir. Satu amalan tidaklah
dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada
Allah Azza wa Jalla kecuali apabila bersumber dari keimanan. Artinya
dorongan utama melakukan amalan tersebut adalah keimanan bukan
kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk mendapatkan pujian
dan kedudukan. Jadi, permulaannya adalah keimanan dan tujuan akhirnya
adalah meraih pahala dari Allah Azza wa Jalla serta mengharap
keredaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisâb. Oleh karena itu, banyak
kita dapatkan kata iman dan ihtisâb datang secara bersamaan seperti
contoh berikut:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَلَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Maksudnya “Barang siapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan
(iman) dan mengharap pahala (ihtisâb), maka diampuni semua dosanya yang
telah lalu”.[HR. al-Bukhâri Muslim].
Apakah kita telah menolong
orang-orang yang berusaha menegakkan agama Allah atau kitalah dalangnya,
kitalah penyokongnya, atau kitalah yang berdiam diri tanpa membela
orang yang difitnah, dihina dan dikeji sedangkan mereka golongan yang
menegakkan perintah Allah. Adakah Allah menolong kita di akhirat kelak
dengan perbuatan-perbuatan kita tersebut atau Allah akan menolong orang
yang bersusah payah untuk menegakkan agama Allah dengan segala fitnah
dan penghinaan. Fikirlah...dunia sudah di penghujungnya. Buatlah pilihan
sebelum terlambat. Insya Allah bahagian kedua akan menyusul. Terima
kasih.
No comments:
Post a Comment