Saturday 16 August 2014

KONSEP TAAWUN DALAM TASAWWUR ISLAM SIRI2


Assalamualaikum sahabat dan semua muridku.
Sambungan hurai ayat; Konsep Taawun Dalam Tasawwur Islam: Siri 2
"Tolong menolong perkara kebaikan dan jangan tolong menolong perkara yang mendatangkan dosa dan perlanggaran."

Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah kepada tindakan menjauhi segala yang diharamkan [al-Qawâid al-Hisân, Syaikh as-Sa’di, hlm. 48]


Makna al-itsmu (إئْمُ ) dan al-’udwân ( الْعُدْوَانُ)
Pada dasarnya, pengertian antara al-birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-’udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk ‘udwân (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah Azza wa Jalla, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan ‘udwân, pelakunya berdosa.Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya.Al-itsmu (dosa) berkaitan dengan perbuatanperbuatan yang memang hukumnya haram. Contohnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram.



Sehubungan dengan al-’udwân, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Apabila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal).
Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah Azza wa Jalla, seperti melampaui batas ketentuan Allah Azza wa Jalla dalam pernikahan seperti : memiliki lima isteri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, masa ihram atau puasa wajib.Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesame manusia Contohnya, bertindak melampaui batas terhadap orang yang berhutang, dengan mencederai kehormatan, fizikal atau mengambil lebih dari seharusnya. Termasuk juga memfitnah, prasangka buruk, menghina dan perbuatan munafik serta seumpamanya yang mendatangkan dosa dan pergaduhan.

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan perkara haram.[ Tafsîrul Qur‘ânil ‘Azhîm (3/12-13)5]. Setiap yang baik sama ada terhadap individu, atau masyarakat lebih-lebih lagi terhadap agama, adalah menjadi kewajipan kita menolongnya dengan pelbagai cara walaupun hanya setakat membuang duri di jalanan, menghadirkan diri, member sokongan idea, tenaga dan wang ringgit hatta memasak, memberi makan, memberi minum dan sebagainya. Inilah yang di katakana al-birri. Tolong menolong dan bantu membantu kea rah kebaikan, tiada sebarang tuduhan, prasangka buruk dan hina menghina antara satu sama lain.


Dikatakan pula al-Istm dan al-‘udwan dalam ayat di atas, termasuklah di dalamnya segala bentuk, sokongan yang berupa mengiyakan, mendiamkan diri tanpa membantah, menghalang, mencegah, apa lagi menabur fitnah, menyokong segala perlakuan dan tindakan, menghina danapa sahaja yang berkaitannya. Dosa orang yang menyokong adalah sama dengan dosa orang yang melakukanya. Sebab itu islam menyebut dalam firman Allah Surah al-Hujurat:12 bermaksud:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan keaiban orang; dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, patuhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertaqwalah kamu kepada Allah; sesungguhnya Allah Penerima taubat, lagi Maha mengasihani.”



Hadis Rasulullah saw yang bermaksud: Daripada Abu Hurairah r.a: Rasulullah SAW telah bersabda:
"Adakah kamu tahu siapakah orang papa (muflis) pada Hari Kiamat?" Jawab sahabat, "Orang papa yang kami tahu ialah orang yang habis wang dan harta bendanya."Baginda bersabda lagi:"Sesungguhnya orang yang papa pada hari itu ialah orang yang mengerjakan sembahyang, puasa dan berzakat, di samping itu mereka suka mencaci atau memaki hamun, menuduh dengan sewenang-wenang, memakan harta orang lain, membunuh manusia dengan kejam dan memukul orang yang tidak bersalah. Segala amal kebajikannya yang dikerjakannya akan digunakan bagi menampung kesalahan dan kejahatan yang dilakukannya. Sekiranya kebajikannya tidak cukup, maka baki kesalahannya akan dicampur dengan kesalahan orang yang dianiaya lalu dibebankan kepadanya, kemudian ia dicampakkan kedalam neraka." (Riwayat Muslim)


Bagi Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilai ayat di atas memiliki kepentingan tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis bagi kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesame manusia ataupun dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah Azza wa Jalla dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya.Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap redha Allah Azza wa Jalla dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan serta ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini.[ ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 30]

Al-Mâwardi rahimahullah berkata: Allah Azza wa Jalla mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah Azza wa Jalla. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah Azza wa Jalla dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.[ Tafsîr al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân), Muhammad bin Ahmad al-Qurthûbi, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H, Vol. 6, hlm. 45]


Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
انْصُر أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظلُو مًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنصُرًُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالََ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.” [HR. al-Bukhâri]. Berdasarkan hadis ini kita dilarang sama sekali menolong orang yang menghina orang lain, malah disuruh kita memberi bantuan kepada orang yang melakukan penghinaan tersebut dengan menghalangnyanya dan menasihatinya bukan menyokong kemungkaran yang dilakukannya.


Dalam hadits lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّالُ عَلَى الْخَيْرِ كَفَا عِلِهِ
Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya. [HR. Muslim]. Inilah yang dimaksudkan dengan orang yang kebaikan sama pahalanya dengan orang yang menyokongnya demikian juga sebaliknya orang yang menyokong kezaliman sama dosanya dengan orang melakukan kezaliman tersebut.


Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang memerlukan bantuan terutama dalam menegakkan kalimah Allah. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.[ Tafsîr al-Qurthûbi (6/45), Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 182]

Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tercerna dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya daripada mentaati kawannya apa lagijika bersalahan dengan perintah Allah.[ ar-Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 57]

Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya.[ Ibid hlm. 57]


Hendaknya ini difahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya dan mendalami ayat ini baik secara pemahaman maupun pengamalan.[ Ibid hlm. 57


Kesimpulannya, dengan jelas, ayat di atas memuat kewajiban saling membantu di antara kaum Mukminin untuk menegakkan agama dan larangan bagi mereka untuk bekerjasama dalam menodainya. Bukan sebaliknya yaitu malahan melemahkan semangat beramal orang, mengejek orang yang berusaha konsisten dengan syariat maupun menjadi dalang tersebarnya perbuatan maksiat di tengah masyarakat. Menyokong dan membantu dalam apa bentukpun segala larangan Allah yang mengajak manusia melakukan kemurkaan Allah adalah satu dosa dan perlanggaranan. Marilah kita sama-sama korbankan kepetingan peribadi seperti jawatan, pengaruh, sombong dan bongkak serta jahil terhadap ilmu Allah untuk terus berjihad berjuang menegakkan agama Allah bersama dengan orang yang tahu agama dan alim ilmunya supaya kita tidak menyokong dosa dan perlanggaran hukum-hukum Allah. Di dunia ini Allah hanya bagi kita dua pilihan memilih orang yang memperjuangkan agama walaupun dihina dan dihalau atau memilih orangyang menganggap dia juga memperjuangkan agama tetapi dengan menghina orang, menuduh dan berprasangka buruk, pilihlah mahu ke syurga atau ke neraka tetapi tiada di sisi Allah orang yang berkecuali kerana agama itu ditegakkan dengan jelas, terang dan menuntut pengorbanan dan penyeksaan. 

Sekian Wallahu a’lam.

No comments:

Post a Comment